Rabu, 23 Juni 2010

Perang Cola di Indonesia



The Cola War tentunya sudah tak asing lagi bagi para pemerhati masalah pemasaran, karena hal ini seringkali dibahas dalam text book marketing ataupun sebagai artikel di majalah majalah bisnis. The Cola War merupakan kisah klasik perseturuan antara Coca Cola dan Pepsi Cola yang terus berlangsung lebih dari setengah abad yang lalu. Pada awalnya bermula di negeri Paman Sam, namun terus bergulir ke berbagai belahan dunia. Di Indonesiapun Perang antara dua pemain raksasa AS itupun juga berlangsung, meskipun tidak segencar di negara paman Sam tersebut.

Pertempuran antara Coca Cola versus Pepsi Cola di Indonesia , tidaklah segencar di AS, hal ini disebabkan karena kedudukan keduanya yang sangat tidak seimbang. Kedudukan Coca Cola sungguh lebih kuat. Mereka hadir di Indonesia jauh lebih dahulu ketimbang Pepsi Cola. Area distribusinyapun juga jauh lebih merata. Fasilitas produksi Coca Cola juga tersebar di beberapa wilayah Indonesia, sementara itu, Pepsi Cola hanya memiliki dua fasilitas produksi, itupun juga hanya terletak di Pulau Jawa. Investasi komunikasi pemasaran Coca Cola juga jauh diatas Pepsi Cola. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini, Iklan TV Pepsi Cola dapat dikatakan telah absen dari layar kaca kita. Dapatlah dikatakan bahwa di atas kertas Coca Cola hampir mengusaai sebagian besar front pertempuran, namun Pepsi Cola tidak lah tinggal diam. Dengan segala keterbatasannya, Pepsi Cola mencoba untuk memenangkan pertempuran pertempuran melalui berbagai manuver, misalnya melalui peluncuran produk baru (new product launch).
Di Indonesia, Pepsi Cola tercatat beberapa kali meluncurkan beberapa produk variant baru, yaitu Pepsi Twist, yang merupakan minuman Cola dengan sentuhan rasa lemon. Memang ada kebiasaan konsumen untuk memberikan tambahan lemon pada minuman teh. Hal ini nampaknya ditangkap oleh produsen minuman Cola ini, sehingga mereka meluncurkan Pepsi Twist ini.

Selanjutnya adalah Pepsi Blue yang diluncurkan sekitar tahun 2003. Sesuai dengan namanya, Pepsi Blue merupakan Cola pertama didunia yang memiliki warna biru. Saat diluncurkan produk ini sangat menarik perhatian konsumen karena warnanya yang unik mirip spiritus. Berdasarkan informasi dari pihak Pepsi Cola Indonesia (baca PCIB), kinerja Pepsi Blue cukup berhasil. Konon kabarnya mampu untuk membuat konsumen yang terbiasa mengkonsumsi Coke untuk berpaling. Berdasarkan pengamatan penulis, bahkan popularitas Pepsi Blue mampu mengungguli Pepsi Cola Reguler. Hingga saat ini produk ini masih bertengger dengan baik di gerai gerai modern trade.

Di tahun 2006 saat menjelang Piala Dunia, Pepsi Cola juga meluncurkan Pepsi Gold, yaitu produk Cola yang memilik warna kuning keemasan seperti minyak goreng, yang diluncurkan sebagai upaya untuk menarik perhatian konsumen penggemar sepakbola. Meski saat itu Piala Dunia disponsori oleh Coke, namun Pepsi Cola dengan cerdik mampu menarik perhatian konsumen, khususnya di pasar modern saat peluncuran prioduk ini. Materi komunikasinya menampilkan berbagai pemain bola dunia yang memang dikontrak oleh Perpsi International, sepeti David Beckham, Ronaldinho, Henry dsb.

Sementara itu di tahun 2008, Coca Cola Indonesia meluncurkan Coca Cola Zero secara besar besaran. Dengan claim Great Coca Cola Taste, Zero Sugar, produk ini cukup sukses menggebrak pasar Cola. Minuman Cola dengan kemasan/ label berwarna hitam tersebut menawarkan zero sugar, sehingga konsumen tak perlu khawatir akan pengaruh negatif "gula" yang berlebihan dalam minuman cola. Memang saat ini di banyak negara, minuman berkarbonasi/Cola banyak diklaim sebagai penyebab obesitas di kalangan anak anak ataupun remaja.

Sementara itu, bila kita lihat di medan distribusi, khususnya di traditional channel, dapat dikatakan bahwa Coca Cola mengusasai hampir 100% saluran tradisional. Bahkan saat ini sudah sangat sulit sekali menemukan Pepsi Cola kemasan Botol beling (returnable glass bottle) di jalur ini. Sementara itu disisi lain, kita dapat melihat betapa gencarnya Coca Cola menyebarkan cooler atau pendinginnya di berbagai outlet. Bahkan penyebaran lemari pendingin ini tak terbatas pada outlet yang menjual makanan atau minuman, bahkan juga menyebar ke outlet lain di tempat strategis. Bahkan penulis menemukan pendingin Coca Cola di outlet penjual ikan hias, penjual bunga, bahkan tempat penampungan barang bekas ! Sungguh luar biasa cara Coca Cola mengakuisisi pelanggan baru.

Sementara itu di channel on premise perang antara kedua minuman ini juga cukup gencar, karena biasanya di channel ini pihak pengelola menerapkan eksklusifitas merek di outlet mereka, yaitu mereka hanya menjual 1 brand per kategori saja di seluruh gerai gerai mereka. Di channel ini, biasanya para pemain minuman juga akan dikenakan marketing fund untuk mempromosikan minuman mereka kepada konsumen outlet tersebut. Coba kita tengok, di bisnis fastfood international, bilamana Pepsi Cola dijual di Kentucky Fried Chicken (KFC), Texac dan California Fried Chicken (CFC), maka Coke juga menguasai Pizza Hut, McDonalds, Wendys dan AW. Disisi lain, saat ini Coke telah menguasasi sepenuhnya jalur Cinema. Bila beberapa tahun lalu Coke hanya dijual di Blitz Megaplex, maka kini kita dapat menemukan Coke juga di gerai Cinema 21. Padahal sebelumnya selama beberapa tahun Produk Pepsi Cola-lah yang tersedia disana. Coke juga terlihat secara mantap menguasai berbagai tempat rekreasi publik.

Pertempuran cukup seimbang di jalur pasar modern, karena availability Pepsi Cola cukup dapat mengimbangi keberadaan Coca Cola. Bahkan kedua belah pihak nampak saling adu kreatifitas melakukan promosi untuk memikat konsuimen, mulai dari diskon harga, memberikan gimmick/merchandising hingga undian berhadiah. Kreatifitas Coca Cola dalam promosi di modern market patut dipuji, karena mampu melakukan berbagai promosi yang bertbeda secara berkesinambungan, mulai dari menawarkan gelas cantik, melakukan co promo dengan berbagai gerai fast food yang menjadi outlet Coca Cola, misalnya dengan AW ataupun Pizza Hut, hingga undian menghadiri acara Piala Dunia.

Yang terpenting, bagaimanapun dahsyatnya pertempuran antar pemain Cola di Indonesia, yang diuntungkan tentu saja konsumen, karena mereka seolah dimanjakan oleh produsen.

Perkembangan Minuman Cup di Indonesia


Beberapa tahun lalu, katakanlah di awal tahun 2000an, bila kita ingin mencari minuman dalam kemasan cup, mungkin hanya air mineral saja yang dapat kita temukan. Namun beberapa tahun belakangan ini , minuman dalam kemasan itu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kini tak lagi air mineral yang dapat kita temukan, tetapi juga minuman dengan rasa teh, minuman rasa buah buahan (fruit flavored drink), minuman jelly dan sejenisnya (jelly drink), bahkan minuman rasa kopi dapat kita temukan dengan mudah.


Berbagai merek juga terus bermunculan, baik yang diproduksi secara industri rumahan, maupun yang diproduksi secara massal dengan sistem pengelolaan fabrikasi. Membesarnya minuman dalam kemasan ini, sebenarnya tidak lepas dengan adanya krisis ekonomi, karena pada saat itu, minuman ini menawarkan suatu konsep minuman siap minum dengan harga yang relatif murah dan terjangkau bagi semua kalangan, khususnya bagi kelas menengah bawah.
Saat ini minuman dalam kemasan cup dapat kita peroleh dengan dengan harga antara Rp. 500 - Rp. 1000. Coba bandingkan dengan kemasan botol beling yang rata rata harga jual ke konsumennya (CBP) sekitar Rp. 2500 - Rp. 3000. Sementara itu, minuman kaleng dan PET harga jualnya seringkali diatas Rp. 4000. Harga yang relatif sangat terjangkau ini, menyebabkan konsumen meminati produk kemasan cup. Selain itu kemasannya yang simpel, dengan volume sekali minum, ringan mudah dibawa bawa juga menjadi penyebab, mengapa konsumen memilih minuman dalam kemasan ini.

Kalau pada awal kemunculannya, minuman cup hanya diproduksi oleh industri rumahan saja, kini pemain pemain food & beverages lokal dan international telah melirik kategori minuman cup. Kalau pada awalnya di Jabodetabek dan sekitarnya, hanya didominasi oleh minuman Zhuka dan Arinda, kini banyak merek besar telah hadir di kancah minuman ini. Merek Frutang dari Tang Mas, tentunya tak boleh dilupakan. Dengan iklannya yang cukup gencar di awal kemunculannya, Frutang sempat menjadi market leader di kategori fruit flavored cupdrink. Demikian juga dengan Mountea dari Garudafood, turut menyumbang berkembangnya kategori minuman teh cup. Mountea juga menjadi pelopor munculnya kemasan cup yang dicetak (printed cup). Wingsfood, dengan Ale Ale-nya juga turut merubah peta minuman cup di Indonesia, dengan promosi yang gencar, bukan hanya di iklan TV, tetapi juga melalui promosi undian "gosok-gosok" berhadiah yang sempat membuat konsumen menjadi demam gosok gosok berhadiah.

Sementara itu Pepsi Cola juga tak mau ketinggalan dengan meluncurkan produk Fruitamin yang memelopori kemasan cup dengan menampilkan visual selebritis dalam kemasan cupnya. Fruitamin menampilkan Nia Ramadhani , artis sinetron (yang kini menjadi menantu Aburizal Bakrie) dalam kemasannya. Sementara itu untuk Tekita, kemasannya menampilkan VJ Daniel dan VJ Cathy.

Setelah Fruitamin dan Tekita, barulah Teh Gelas dari Orang Tua Group menampilakan band Changcuters pada kemasannya. Namun dari sisi Grafis penampilan Fruitamin dan Tekita lebih memikat.

Jadi kini pasar minuman cup tak lagi dimiliki oleh industri rumahan, tetapi industri besar telah masuk kedalamnya, karena mereka tahu bahwa kemasan ini saat ini masih merupakan kemasan yang paling terjangkau oleh mayoritas masyarakat di Indonesia. Kita lihat saja episode berikutnya, saat industri besar saling berkompetisi merebut konsumen. Semoga saja saat gajah berperang melawan gajah, pelanduk tak mati di tengah tengah.

Sabtu, 19 Juni 2010

Gerai Penjualan Minuman di Indonesia



Bila kita melihat Channel (saluran/gerai) penjualan minuman di Indonesia, mungkin kita membaginya ke dalam 3 kategori besar, yaitu tradisional trade, modern trade dan on premise. Traditional trade meliputi penjualan di gerai gerai tradisional seperti PK 5, asongan toko P&D dan sebagainya. Sementara itu Modern trade diwakili oleh penjualan di gerai gerai modern seperti mini market, supermarket ataupun hypermarket. Sedangkan On Premise, merupakan segala bentuk penjualan di tempat tempat tertentu seperti hotel, restoran, cafe, tempat rekreasi dsb.

Sebagai negara berkembang, tentunya jumlah outlet tradisional masih menempati posisi pertama, lalu diikuti oleh channel modern dan tentunya baru oleh premise. Namun saat ini pertumbuhan penjualan di modern trade dan On premise sedemikian pesatnya, sejalan dengan terus berkembangnya kedua channel ini dari waktu ke waktu. Kita dapat melihat disekeliling kita betapa menjamurnya gerai gerai mini market seperti indomaret dan alfa maret di lingkungan kita. Dalam satu kompleks perumahan, kita dapat menemukan beberapa gerai tersebut dalam jarak yang tidak terlalu berjauhan. Demikian juga dengan Channel On Premise, kita juga dapat melihat munculnya banyak gerai resto baru, baik franchise yang bersifat lokal, seperti klenger burger, bakmi gajah mada, maupun franchise international seperti Kentucky Fried Chicken ataupun McDonalds di sekeliling kita.

Masing masing gerai di atas tentunya memiliki primadona produk masing masing. Bilamana di traditional trade, nampaknya minuman dalam kemasan botol beling (retunable glass bottle) dan minuman dalam kemasan cup dapat kita lihat mendominasi gerai tipe ini. Sementara itu di modern market, kemasan PET dan kaleng cukup berjaya. Uniknya untuk on premise, sangat bergantung kepada tipe outletnya. misalnya untuk gerai berlisensi international seperti KFC/McD, minuman berkarbonasi (Carbonated Softdrinks/CSD) seperti Pepsi Cola ataupun Coca Cola seringkali menjadi pilihan utama konsumen. Produk softdrinks ini disajikan secara langsung melalui mesin fountain. Namun disisi lain ada juga gerai on premise yang menawarkan minuman dalam kemasan teh maupun air mineral dalam kemasan botol beling ataupun PET.